Sabtu, 17 Desember 2011

Pentingnya Konten Pedadgogi dalam Pembelajaran Sains

Ari Basuki

SMA Negeri 2 Tanjungpinang
Betha29124@yahoo.com

A.    Pengertian Konten Pedagogi.

            Pengetahuan tentang konten pedadogi dari suatu materi pelajaran “materi subjek” harus dimiliki bagi seorang pengajar. Aspek konten dimaksud, adalah salah satu aspek yang secara bersamaan dengan aspek sintaktik dan aspek substantif membentuk struktur suatu materi subjek. Aspek sintaktik mencakup perumusan dan cara validasi pengetahuan sedangkan aspek substantif mencakup organisasi konten ilmu. Konten merupakan pengetahuan sains yang semestinya dikuasai oleh pengajar mencakup fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori (Siregar, 1998).


        Pendapat sinis yang menyatakan bahwa pengajaran yang dilangsungkan oleh guru bukan merupakan upaya mentranfer ilmu pengetahuan atau memberikan ilmu pengetahuan yang salah perlu secara serius ditanggapi dalam kontek upaya pembelajaran itu sendiri. Pembelajaran yang merupakan upaya mengarahkan siswa untuk dapat menjangkau aspek konten, sintaktikal maupun substantif hasil kegiatan penelitian ilmiah saintis, tidak akan tercapai tanpa dibarengi adanya pengetahuan strategi pengajaran yang di terapkan dengan tepat oleh guru. Hasil kegiatan penelitian ilmiah saintis sebagai suatu kemampuan atau prosedur berpikir secara sistematis yang disebut wacana (Tim penyusun kamus, 2002), selanjutnya ditransformasikan kedalam model teoritis atau matematik menjadi suatu bentuk eksplanasi ilmiah. Wacana yang merupakan representasi materi subjek inilah yang selanjutnya diramu dengan menggunakan kemampuan pedagogi, psikologi guru sebagai suatu bentuk eksplanasi pedagogis hingga mudah diajarkan serta mudah dijangkau oleh siswa. Sebagaimana pedagogi dimengerti sebagai suatu pengetahuan tentang strategi pengajaran (Enfield, 2000). Selanjutnya, pengetahuan konten pedagogi “Pedagogical Content Knowledge (PCK)” menurut Loughran et al. dalam De Jong (2006) didefinisikan sebagai pengetahuan seorang guru atau pengajar dalam menyuguhkan situasi mengajar untuk membantu pembelajar mengerti konten fakta sains. 
     Berdasarkan uraian singkat di atas timbul petanyaan yaitu: benarkah guru tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan atau mengajarkan ilmu pengetahuan yang salah pada siswa? Apa peran penting pengetahuan konten pedagogi dalam pembelajaran sains?

B.     Peran Pengetahuan Konten Pedagogi
Pengetahuan konten pedagogi dalam pembelajaran sains sangat penting ditinjau dari konteks awal wacana para saintis hingga menjadi eksplanasi pedagogik. Wacana yang merupakan hasil kegiatan ilmiah para saintis yang ditransformasikan ke model teoritis atau matematik hanya dapat dengan mudah dimengerti oleh rekan sejawat para ahli sains. Model ini sangat sulit di pahami oleh siswa tanpa ada keterlibatan aspek psikologi dan pedagogi.  Beberapa contoh yang dapat digunakan adalah:

a). fungsi gelombang orbital 1s yang di ungkapkan dalam bentuk model matematik dengan fungsi gelombangnya ( Sunarya, 2002), sangat sulit untuk dimengerti atau dijangkau siswa, juga sulit untuk di ajarkan oleh guru. Pentransformasian model matematik fungsi gelombang orbital 1s ke bentuk model ikonis bola akan lebih mudah dijangkau dan juga mudah diajarkan (Gambar 1).

                                                                                                      transformasi
         fungsi gelombang orbital 1s                                                      orbital 1s
            (model matematik)                                                           (model ikonik)
Gambar 1. Tranformasi model matematik menjadi model ikonik orbital 1s.

Fungsi pedagogi materi subjek “konten” model ikonik tersebut terletak pada kemampuannya untuk mengungkapkan kebenaran yang lebih dalam; jadi penggunaannya menyangkut kemampuan eksplanasi yang lebih tinggi ( Selley dalam Siregar, 1998).
Gambar 2. Liposom, misel dan lipid lapis ganda dalam bentuk bola-tongkat. Bola menunjukkan gugus hidrofil, sedangkan tongkat “ekor” sebagai gugus hirofob.

b). contoh lainnya adalah liposom, misel dan lipid lapis ganda seperti Gambar 2, lebih mudah dipahami oleh siswa dan lebih bermanfaat untuk digunakan guru dalam merepresentasikan materi terkait dibanding dengan menggambarkan struktur sebenarnya penyusun dari ketiga zat tersebut. Representasi struktur penyusun yang sebenarnya disamping rumit, juga sulit untuk digambarkan sehingga tidak memenuhi maksud dan tujuan menggunakannya (Voet & Voet, 2004).
 a) 
                                                                      Transformasi
Gambar 3. Transformasi persamaan sifat kinetika enzim dalam bentuk grafik.

c). Gambar 3. secara pedagogis, transformasi ke bentuk grafik (b) dari persamaan sifat laju reaksi katalisis enzim (a) lebih mudah dipahami siswa sebagai pembelajar dan mudah diajarkan oleh guru sebagai pengajar.
Secara lebih rinci hubungan antara eksplanasi ilmiah dari para saintis dan eksplanasi pedagogik oleh guru pada siswa terlihat pada Gambar 4 berikut. Siswa sebagai pembelajar membutuhkan eksplanasi ilmiah yang telah ditransformasikan menjadi materi subjek termasuk di dalamnya yaitu konten, agar memenuhi kriteria mudah diajarkan dan mudah dijangkau. Mudah diajarkan berhubungan dengan tugas manipulasi konten agar sesuai dengan kondisi intelektual siswa. Mudah dijangkau merujuk pada tansformasi konten “materi subjek” menurut kriteria psikologi pembelajaran.

Gambar 4. Hubungan antara eksplanasi ilmiah dan eksplanasi pedagogi
             
     Pengungkapan fungsi intelektual tugas mengajar dilihat dalam hubungannya dengan komponen dan organisasi pengetahuan dasar dari tugas mengajar. Salah satu jawabanya yang dianggap tepat adalah pandangan Shulman (1987) dalam Siregar (1998). Shulman mengidentifikasikan tujuh pengetahuan dasar tugas mengajar yang diperlukan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi subjek. Pengetahuan dasar tersebut mencakup:
1.   Pengetahuan materi subjek, merujuk pada banyaknya dan organisasi pengetahuan guru yang mencakup baik konten, aspek substantif, maupun aspek sintaktikalnya.
2.    Pengetahuan pedagogi umum, merujuk pada prinsip-prinsip dan strategi pengelolaan dan oganisasi kelas yang menyangkut pengetahuan umum. Prinsip dan strategi mengajar juga dikendalikan oleh keyakinan, dan pengetahuan praktis guru.
3.  Pengetahuan konten pedagogikal, adalah pengetahuan dalam mengorganisasikan konten, yang cocok untuk tugas mengajar. Ini mencakup representasinya dalam bentuk yang bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman pembelajar. 
4.   Pengetahuan kurikulum, merujuk pada materi dan program yang berfungsi sebagai alat khusus bagi guru dalam menentukan tujuan pengajaran pada berbagai jenjang kelas.
5. Pengetahuan pembelajar dan karakteristiknya, untuk mengembangkan pengajaran.
6.    Pengetahuan konteks pendidikan, berkaitan dengan cara bekerjanya kelompok kecil disekolah hingga pada bagaimana organisasi sekolah dan pembiayaan sekolah.
7.   Pengetahuan tentang tujuan akhir persekolahan, membicarakan maksud, nilai dan tujuan, dasar filosofi, dan dasar sejarah (Siregar, 1998).
     Terlihat bahwa: (menggunakan pendapat Selley di atas) “pembelajaran yang dilangsungkan oleh guru menyuguhkan pada siswa ilmu pengetahuan dengan kemampuan eksplanasi yang lebih tinggi, sedangkan pengetahuan konten pedagogi guru memiliki posisi sentral dalam keberhasilan proses pembelajaran siswa”. Transformasi konten diarahkan pada pembelajar agar dapat mengikuti proses belajar mengajar, sedangkan pengajar terlibat secara intensif pada aspek pedagogi.

C.    Standar Kemampuan Pedagogi  Guru

Kemampuan segi pedagogi seorang guru sains merujuk pada: tindakan, strategi dan metodologi yang digunakan oleh guru sains; interaksi dengan siswa dalam rangka meningkatkan pembelajaran dan sikap; pengorganisasian kelas secara efektif; menggunakan teknologi dan meningkatkan pembelajaran; menggunakan konsep-konsep utama dan bertumpu pada siswa dalam menyuguhkan pembelajaran baru (Spector, 1995).
Standar kemampuan pedagogi guru, sebagaimana yang diusulkan dalam National Science Education Standar (NSES), contoh kriteria calon guru, guru pemula dan guru professional seperti pada table berikut:
Level calon guru
Level guru pemula

Level guru professional

A. Merencanakan dan melaksanakan strategi pembelajaran sains yang sesuai untuk pembelajar dengan latar belakang dan gaya belajar yang berbeda.
A. Merencanakan dan terus menerus melakukan  berbagai alternatif  kegiatan untuk suatu konsep; dapat mengidentifikasi perbedaan pokok pembelajar pada banyak siswa.
A. Menunjukkan kemampuan menggunakan strategi alternatif pada saat menemui tuntutan pembelajaran yang bervariasi dan secara sistematik melakukan aktivitas pembelajaran yang bervariasi.
B. Menunjukkan kemampuan mendorong siswa secara efektif dalam pembelajaran sains, baik secara individu atau dalam kerja kelompok pada berbagai kegiatan belajar.
B. Secara berkesinambungan mengajarkan sains dengan baik secara individu maupun kelompok , mengikuti kebebasan “ruang gerak” pembelajar dalam pengorganisasian kelompok berdasarkan umur dan latar belakang.
B. Menerapkan aturan interaksi soaial dan kelompok sebagai dasar untuk belajar konseptual dan inkuiri, serta menggunakan strategi untuk memfasilitasi kebutuhan siswa dalam membentuk dan mengorganisasi kelompok secara mandiri.
C. Indentifikasi sasaran dan mengajukan alas an yang baik dan rasional, bertumpu pada kebutuhan siswa, untuk memilih strategi khusus pembelajaran sains.
C. Menunjukkan kefleksibelan dalam merencanakan dan menerapkan strategi mengajar, dan memakai observasi langsung seta asesmen dalam mengungkapkan tindakan sampingan.
C. Siap mengungkapkan latar belakang tindakan dan dapat merubah strategi secara cepat untuk memperoleh keuntungan suatu kesempatan yang didapat untuk bisa diajarkan serta dari tinjauan yang sesaat.
D. Menggunakan teknologi yang tepat, termasuk komputer, untuk menyuguhkan pengajaran sains.
D.Berkesinambungan menggunakan teknologi yang ada dalam pengajaran. Termasuk siswa dalam rangka pemanfaatan teknologi untuk pencarian, mendapatkan informasi dan proses data; teknologi berkaitan pada proses inkuiri.
D. Mengindetifikasi teknologi informasi sebagai landasan pengajaran, belajar dan praktek sains dan juga memberi dorongan pada siswa baik dalam penggunaan teknologi maupun dalam rangka pemahaman sains dan pembelajaran.
E. Menggunakan berbagai metode mengajar untuk menyuguhkan konsep penting dari sudut pandang yang berbeda; dan menggunakan siklus belajar untuk beberapa bentuk pengajaran.
E. Membangun daftar “repertoire” materi mengajar dan siklus belajar untuk menyuguhkan konsep dari beberapa sudut pandang. 
E. Memiliki kemampuan mengembangkan secara tepat rangkaian materi yang berhubungan secara tematik dan siklus belajar digunakan pada pengajaran konsep dari sudut pandang berbeda.
F. Mengidentifikasi miskonsepsi siswa yang umum terjadi atau kehilafan konsepsi dalam mengajar, sumbernya, dan ketepatan tanggapan mengajar.
F. Memulai identifikasi sistematik dan mencegah miskonsepsi siswa atau kekhilafan konsep dan merencanakan kegiatan serta pelaksanaan diskusi, juga perubahannya.
F. Berkesinambungan mencegah miskonsepsi dan kekhilafan konsepsi serta menggunakan asesmen sebagai landasar untuk lebih merekonstruksi penerimaan konsep secara saintifik berserta keterkaitannya.

Daftar Pustaka

De Jong O., Van Driel H. J., Verloop N. (2006). Preservice Techers’ Pedagogical Content Knowledge of Using Particle Models in Teaching Chemistry.

Siregar, N. (1998). Penelitian Kelas: Teori, Metodologi dan Analsis. Bandung: CV. Andira.

Spector, B. (1995). Inventing technology education: Insights for change from a science educator's perspective. Tampa FL: University of South Florida Adult and Vocational Education Department.

Sunarya, Y. (2002). Common Textbook: Ikatan Kimia. Bandung: FMIPA-UPI.

Tim Penyusun Kamus. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Balai Pustaka.

Voet, D & Voet G. J. (2004). Biochemistry. Pennsylvania USA: John Wiley & Sons, Inc.

Senin, 17 Oktober 2011

Contoh PTK Kimia SMA Berbasis Budaya

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR ASAM-BASA SISWA SMA KELAS XI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA PESISIR
(Ari Basuki)
A.      Latar Belakang Masalah
Program dan proses pembelajaran kimia yang dilaksanakan khususnya pada materi pokok asam-basa pada tingkat pendidikan menengah belum memanfaatkan aspek tradisi budaya setempat. Hasil observasi awal penulis terhadap proses pembelajaran kimia di SMA Negeri 2 Tanjungpinang menunjukan bahwa guru juga belum memanfaatkan budaya masyarakat pesisir yang merupakan budaya keseharian siswa. Siswa cenderung pasif dalam mengikuti proses pembelajaran pada materi pokok asam-basa. Pembelajaran dilakukan dengan cara konvensional dengan metode ceramah, tanya jawab, dan latihan soal-soal. Pembelajaran yang kurang inovatif tersebut menyebabkan siswa bosan sehingga hasil belajar kurang maksimal. Guru kimia yang mengajarkan materi pokok asam-basa hanya mampu mematok Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebesar 68. Hasil belajar dan keterlibatan siswa pada proses pembelajaran tersebut menunjukan perlunya penerapan inovasi model pembelajaran yang meninjau latar belakang keseharian siswa yang merupakan bagian dari masyarakat pesisir.


Pembelajaran sains di sekolah yang berlandaskan pada praktek budaya sangat disarankan dan dapat lebih membelajarkan siswa melalui suatu pendekatan konsep dalam kerangka konteks sistem holistik seperti bidang kajian ilmu kelautan (Lambert, 2005). Ilmu kimia sebagai kajian sains merupakan suatu sistem pengetahuan yang mencerminkan praktek-praktek budaya. Siswa berpikir dan mengemukakan hasil pikirannya sesuai dengan praktek budaya asal keseharianya (Aikenhead, 2005). Pembelajaran ilmu kimia di sekolah harus mempertimbangkan aspek latar belakang budaya siswa. Pembelajaran sains (kimia) di sekolah yang memperhatikan budaya anak didik (Baker, 1995; Klos, 2006) dapat berperan dalam pembudayaan sains bagi siswa. Pendekatan lintas budaya ini dapat dilakukan dengan cara menyelaraskan sains barat dan sains asli (Stanley & Brickhouse, 2001).
Pendidikan sains yang bermuatan budaya agraris penting bagi siswa di wilayah masayarakat berbudaya agraris, demikian juga bagi siswa yang berasal dari masyarakat berbudaya bahari daerah pesisir, sains berbasis budaya bahari  akan lebih bermakna serta bermanfaat bila kelak ia berkecimpung di masyarakat. Pernyataan tersebut sejalan dengan penyeimbangan pendekatan budaya, sebagaimana pendapat Cobern dan Aikenhead (1996) yaitu suatu subkultur sains modern (Barat) yang diajarkan di sekolah secara terintegrasi dengan subkultur kehidupan keseharian siswa berakibat pada pengajaran sains memiliki kecenderungan memperkuat pandangan siswa tentang alam lingkungan hidupnya sebagai suatu pembudayaan (enculturation).
Pembelajaran di sekolah yang dilangsungkan saat ini berlandaskan pada pengembangan sains Barat. Pembelajaran sains yang merupakan hasil pengembangan budaya barat menempatkan siswa yang berasal dari budaya non-barat pada batas wilayah budaya dengan cara pandang berbeda. Hal ini menuntut siswa untuk dapat melintasi batas budaya “border crossing” agar dapat menerima sains barat sebagai cara pandang dunia siswa di sekolah. Upaya melintasi batas budaya ini menyulitkan bagi siswa dalam belajar sains (Jegede & Aikenhead, 1999). Pembelajaran tersebut terlepas dari konteks lingkungan budaya keseharian siswa di Indonesia. Pembelajaran sains yang tidak memberikan bekal kehidupan bagi siswa dalam hidup bermasyarakat, kelak dapat menghasilkan generasi-generasi pembentuk masyarakat yang mengabaikan lingkungan hidupnya.
Pendidikan sains (kimia) yang telah dilangsungkan dan sedang berlangsung yang cenderung menekankan penguasaan materi sains bagi siswa sekolah menengah (Depdiknas, 2007a). Siswa merasa kesulitan menguasai hukum maupun konsep-konsep penting saat mengikuti pembelajaran dan bertanggapan negatif terhadap kimia maupun pembelajaranya (Jong, 2000).  Meskipun diberikan keleluasaan bagi guru untuk menyusun muatan materi pembelajaran sains yang dapat menggali dan memanfaatkan potensi daerah namun terbentur pada keterbatasan kemampuan guru untuk melakukannya. Guru sains terjebak pada penyajian materi sains yang terlepas dari pengalaman, latar belakang, kebutuhan kehidupan keseharian, serta mengabaikan kebutuhan siswa.
Penulis telah mengembangkan suatu langkah-langkah model pembelajaran berbasis budaya dan diterapkan pada pembelajaran asam-basa di Sekolah Menengah Pertama (SMP) (Basuki & Liliasari, 2010). Pembelajaran materi pokok asam-basa di SMP yang meninjau keseharian siswa dapat meningkatkan penguasaan konsep, siswa lebih aktif, dan merasa senang belajar kimia. Penguasaan konsep siswa meningkat karena terkait dengan aktivitas keseharian mereka dan merasa senang belajar kimia. Hasil ini menunjukan pembelajaran berbasis budaya pesisir perlu diterapkan pada proses pembelajaran materi pokok asam-basa. Penerapan model pembelajaran tersebut penting untuk dilakukan dalam upaya meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa SMA Kelas XI pada materi pokok asam-basa.
   
B.       Perumusan Masalah
Latar belakang masalah telah mengungkapkan pentingnya peran pembelajaran kimia berbasis budaya. Pembelajaran berbasis budaya memiliki potensi menanggulangi permasalahan yang timbul dalam proses pembelajaran kimia pada materi pokok asam-basa yang dialami siswa SMA. Masalah penelitian dirumuskan dalam permasalah utama yaitu bagaimana model pembelajaran berbasis budaya pesisir dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa SMA Kelas XI pada materi pokok asam-basa? Permasalahan utama dapat diuraikan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.      Bagaimana pelaksanaan proses pembelajaran kimia berbasis budaya pesisir di SMA Kelas XI pada materi pokok asam-basa?
2.      Apakah proses pembelajaran kimia berbasis budaya pesisir di SMA Kelas XI dapat meningkatkan hasil belajar siswa?
3.      Apakah proses pembelajaran kimia berbasis budaya pesisir di SMA Kelas XI dapat meningkatkan aktivitas siswa?
4.      Bagaimana tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran kimia berbasis budaya pesisir di SMA Kelas XI?


C.      Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah
1.      Merancang kegiatan proses pembelajaran kimia berbasis budaya bagi siswa SMA Kelas XI pada materi pokok asam-basa.
2.      Mengungkap tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran kimia berbasis budaya pesisir di SMA Kelas XI.
3.      Meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa SMA Kelas XI pada materi pokok asam-basa.

D.      Manfaat Penelitian
Hasil penelitian dapat memberikan manfaat bagi:
1.      Guru: memudahkan guru dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi proses pembelajaran materi pokok asam-basa bagi siswa SMA.
2.      Siswa: memudahkan siswa SMA Kelas XI dalam mempelajari konsep asam basa
3.      Sekolah dan Dinas Pendidikan dalam menyusun rencana pengadaan sarana dan prasarana yang mendukung proses pembelajaran kimia di SMA

E.       Kajian Teori
1.    Sains dan Kimia sebagai Subudaya
Manusia, dalam menjalani kehidupan sebagai individu secara mandiri maupun berkelompok dalam bermasyarakat selalu mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi antara seseorang dengan orang lain, seseorang dengan masyarakatnya, interaksi dengan orang dan masyarakat lainnya maupun lingkungan alamnya. Interaksi yang amat kompleks ini dilakukan dalam rangka menghadapi tantangan alam, memenuhi berbagai kebutuhan hidup baik fisik maupun psikisnya. Berpikir dan bertindak merupakan tuntutan dalam kehidupan seseorang di masyarakat. Adanya kemampuan berpikir dan bertindak, seorang secara individu maupun kelompok memunculkan ide-ide. Hasil dari ide-ide tersebut berbentuk objek-objek berupa materi maupun non-materi.
Tindakan terkait dengan pembentukan pranata. Pranata sosial sebagai tanggapan bersama dalam kelompok atau kebiasaan hidup komunitas. Secara khusus pranata sosial merupakan keseluruhan tindakan komunitas yang tertuju pada individu berdasarkan keadaan tertentu menurut cara yang sama, berdasarkan keadaan itu pula terdapat respon yang sama di pihak komunitas (Ritzer & Goodman, 2005). Ide dan objek material yang merupakan hasil karya seseorang atau sekelompok orang dan diadopsi dalam rangka kebutuhan kehidupan kolektif selanjutnya menjadi suatu budaya masyarakat tersebut. Budaya suatu masyarakat dimaksud sesuai dengan pendapat bahwa budaya “Culture” merupakan: kompleks keseluruhan dari ide-ide dan objek-objek material yang merupakan hasil kreasi seseorang atau sekelompok orang dari suatu masyarakat dan diadopsi sebagai suatu yang dibutuhkan untuk diamalkan dalam kehidupan kolektif (Kammeyer et al., 1990).
Sains merupakan hasil pemikiran dari seseorang atau sekelompok orang dari suatu masyarakat berdasarkan tantangan stimulus lingkungan. Produk sains dapat bersifat material seperti perangkat teknologi, hasil aplikasi sains itu sendiri, dan dapat berupa nonmateri seperti teori-teori, prinsip-prinsip, maupun hukum. Sains yang merupakan hasil pemikiran dengan berbagai kompleksitas yang ada diterima oleh masyarakat saintis maupun masyarakat pada umumnya dalam kehidupan bersama, sehingga membudaya. Pembudayaan sains dimasyarakat terjadi melalui proses belajar dengan berbagai aspeknya. Oleh sebab itu sains dapat dikatakan sebagai subbudaya atau bagian dari budaya seperti ungkapan Geertz (Aikenhead & Jegede, 1999).
Sains “Science” yang dalam bahasa Jerman disebut “Wissenschaft” terdiri dari cabang kajian dasar yaitu fisika, kimia, biologi, astronomi, dan sosial sains seperti ekonomi, sosiologi, dan politik (Kemeny, 1959). Sains merupakan pengetahuan sebagai subbudaya, sebagaimana pengertian budaya menurut Edward B. Taylor yaitu merupakan kompleks keseluruhan meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan dan kecakapan lainya serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Haviland, 1988).
Sains dapat dikatakan sebagai subbudaya, sebagaimana makna budaya yang merupakan objek yang diterima masyarakat yang merupakan proses sosial tanpa henti berkaitan pikiran dan diri melalui pendidikan sebagai sarana pembudayaan. Oleh sebab itu sains sebagai subbudaya bersifat dinamis dan terus berkembang dari zaman ke zaman dalam berbagai kelompok masyarakat.

2.      Peran Budaya dalam Pencapaian Tujuan Pembelajaran Sains (Kimia)
Pengetahuan sains sebagai suatu subbudaya merupakan sistem pengetahuan mencerminkan praktek-praktek budaya. Siswa berpikir dan mengemukakan hasil pikirannya sesuai dengan praktek budaya asal dari kehidupan kesehariannya. Ketidaksesuaian proses pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik, juga dalam bentuk buku ajar, dalam sudut pandang tertentu yang berbeda dengan siswa yang berasal dari budayanya mengakibatkan ketertarikan, minat, jumlah siswa yang mengikuti pelajaran sains sangat berkurang. Pertentangan yang terjadi antara pendidik sains dan siswa karena tanpa disertai sudut pandangnya tentang dunianya saat belajar sains dalam aspek-aspek epistemologi, aksiologi maupun ontologi. Pertentangan ini hendaknya dikurangi, bahkan dihilangkan agar sains dapat dikuasai siswa (Aikenhead, 2005).
Siswa yang sedang belajar sains layaknya seperti seorang pelintas batas antara dua budaya yaitu nilai-nilai budaya keseharian mereka dengan nilai-nilai budaya sains dan sekolah. Costa (Aikenhead dan Jegede, 1999) mengelompokkan siswa ke dalam lima kategori berdasarkan cara mereka menerima dan memperoleh budaya sains dan sekolah. Kelima kelompok siswa dengan cara bertransisi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
a.       Kelompok pertama disebut “Potential Scientists”. Kelompok ini terdiri dari siswa yang dapat melintasi batas budaya dengan peralihan yang mulus.  Siswa pada kelompok ini juga gigih dan tekun dalam belajar sains. Hal tersebut disebabkan budaya keseharian siswa di keluarga dan lingkup pergaulan sama ”congruent” dengan budaya sains dan sekolah.
b.      Kelompok kedua disebut ”Other Smart Kids” yaitu kelompok siswa yang dapat melewati transisi batas budaya sains barat dan sekolah dengan baik melalui penanganan ”manageable” tertentu oleh guru. Mereka masih menganggap dan mengakui bahwa sains di sekolah sebagai budaya yang asing. Transisi budaya siswa dapat dilakukan dengan keterlibatan guru karena budaya keseharian siswa di keluarga dan lingkup pergaulan sama ”congruent” dengan budaya sekolah namun tidak sesuai dengan budaya sains.
c.       Siswa kelompok ketiga disebut ”I Don’t Know Student”. Siswa kelompok ini mengalami masalah serius dalam melintasi batas budaya dalam belajar sains,  tetapi tetap berusaha untuk mengatasi masalah tersebut agar tidak dikatakan gagal. Transisi budaya siswa cenderung berbahaya “hazardous” atau mengalami kegagalan sebab budaya keseharian siswa di keluarga dan lingkup pergaulan  tidak sesuai ”inconsistent” dengan budaya sains dan sekolah.
d.      Kelompok keempat disebut “Outsider” kelompok ini terdiri dari siswa yang cenderung terasing selama mengikuti proses pembelajaran sains. Kelompok ini mengalami masalah dalam melintasi batas budaya yang dikarenakan adanya pertentangan ”discordant” antara budaya keseharian di rumah dan di sekolah. Kelompok ini juga cenderung mempertahankan budayanya sehingga bagi mereka tidak mungkin untuk melewatinya, dengan demikian budaya sains dan sekolah tetap asing bagi mereka.
e.       Kelompok kelima disebut “Inside Outsider” yaitu kelompok siswa yang tertarik pada sains tetapi hampir tidak mungkin untuk melintasi batas budaya keseharian dengan budaya sains dan sekolah karena mereka merasa putus asa dan kesulitan dalam transisi budaya tersebut. Sekolah menjadi faktor pendiskriminasi karena sekolah tidak menyediakan proses pembelajaran yang peduli pada nilai-nilai budaya siswa. Kesulitan dan keputusasaan siswa dalam transisi budaya dalam belajar sains disebabkan oleh budaya keseharian siswa di keluarga dan lingkup pergaulan sangat bertentangan ”irreconcilable” dengan budaya sekolah tetapi memiliki potensi sesuai dengan budaya sains. Aikenhead (2001) menambahkan satu cara siswa bertransisi yaitu kelompok siswa “I Want to Know Student “. Siswa kelompok ini tertarik untuk memahami sains dengan mejelajahi batas budaya hingga memungkinkan secara efektif memahami sains, tetapi mereka menemukan tantangan.
3.      Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Budaya Pesisir
Tahapan proses pembelajaran pada rencana pelaksanaan pembelajaran berbasis budaya pesisir yang dikembangkan terdiri atas kegiatan awal, inti, dan akhir. Kegiatan awal terdiri dari dua tahap yaitu tahap I dan II. Tahap I, guru mengungkap konsepsi awal siswa tentang materi pokok (konsep) yang akan dikuasai siswa dengan mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan tradisi budaya masyarakat pesisir. Guru menampung semua pendapat siswa. Tahap II, guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan budaya pesisir dan konsep kimia yang akan dipelajari untuk memotivasi siswa untuk memicu munculnya dua konflik skemata. Jawaban siswa di mintakan kembali tanggapan siswa lainya.
Kegiatan inti terdiri dari dua tahap yaitu tahap III dan IV. Tahap III, siswa melalui bimbingan guru pada tahap ini melaksanakan percobaan sederhana atau diskusi kelompok. Percobaan dimaksudkan untuk mengungkap fenomena yang berkaitan dengan budaya dan topik yang diajarkan. Ketika percobaan, siswa diberikan keleluasaan untuk mengekspresikan gagasannya, sedangkan guru sebagai fasilitator, motivator, dan pembimbing. Lingkungan belajarnya diciptakan yang fleksibel, menarik, dan siswa merasa senang tanpa tertekan dalam menjelajah sains. Sasarannya adalah siswa dapat mengenali materi baru yang akan dipelajari melalui observasi dan diskusi. Tahap IV, guru menyampaikan atau siswa diminta mengungkapkan budaya melalui pertanyaan pengarah oleh guru tentang fenomena budaya yang berkaitan dengan topik kimia yang dipelajari. Siswa diminta menanggapi fenomena yang disajikan guru. Petunjuk langkah-langkah percobaan yang harus dilaksanakan siswa tertuang dalam bentuk lembar kerja siswa (LKS).
Tahap V terdapat dalam kegiatan akhir. Guru pada tahap ini, menyajikan atau siswa diminta mengungkapkan tradisi budaya yang berkaitan dengan kimia melalui pertanyaan pengarah oleh guru, sehingga siswa setelah mengalami konflik kognitif dalam berhadapan dengan pengetahuan yang baru diperoleh siswa dan pengetahuan budaya berdasarkan pengalaman keseharian siswa menimbulkan proses belajar kolateral simultan pada diri siswa. Tujuan dari tahap ini adalah agar siswa mengasimilasi atau mengakomodasi pengetahuan yang baru diperoleh siswa, pemahaman, sikap, dan nilai–nilai budaya yang terkait.

F.     Rencana dan Prosedur Penelitian
1.      Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research). Penelitian PTK dilakukan sebanyak tiga siklus. Setiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan dengan pembelajaran asam-basa dengan menerapkan model pembelajaran berbasis budaya dan observasi, serta refleksi (Arikunto dkk, 2007: 16) dan  (Burns, 1999: 33; Lewin dalam Sukmadinata, 2005: 145).
Disain penelitian tindakan salah satunya adalah model Kemmis dan Mc Taggrat, yaitu berupa perangkat atau untaian-untaian dengan satu perangkat yang terdiri dari empat komponen antara lain: perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Keempat komponen yang berupa untaian tersebut dipandang sebagai satu siklus. Model tersebut digambarkan seperti Gambar 1. Siklus pada tindakan ini merupakan suatu putaran kegiatan yang berbentuk spiral terdiri dari perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi (Depdikbud,1999: 22).


         
2.      Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan adalah siswa SMA Negeri 2 Tanjungpinang Kelas XI sebanyak 40 orang dan seorang guru kimia.
3.      Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dilakukan dengan tahapan:
1)      Perencanaan tindakan
a)      Menentukan pokok bahasan yang akan dijadikan sasaran dalam tindakan.
b)      Merancang RPP
c)      Menyusun skenario pembelajaran yang sesuai dengan strategi, metoda, dan teknik yang ditetapkan.
d)     Menyiapkan Lembar Kerja Siswa (LKS)
e)      Menyiapkan sumber belajar
f)       Menyiapkan format laporan observasi aktivitas guru dan siswa serta tanggapan siswa.
g)      Menyusun instrumen pengumpul data
h)      Menetapkan indikator pencapaian hasil belajar.
i)        Menyiapkan format evaluasi
2)      Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan tindakan merupakan pelaksanaan proses pembelajaran pada materi pokok asam-basa dengan langkah-langkah model pembelajaran berbasis budaya pesisir. Langkah-langkah proses pembelajaran dilakukan dengan lima tahapan.
3)      Observasi
Observasi dilakukan oleh guru mitra saat pelaksanaan pembelajaran. Hal-hal yang diobservasi yaitu kegiatan atau aktivitas guru, aktivitas siswa. Aktivitas guru diobservasi mulai dari kegiatan awal, kegiatan inti, hingga kegiatan akhir. Observasi aktivitas siswa dilakukan terhadap aktivitas bertanya, menanggapi pertanyaan, aktivitas diskusi, serta kerja praktikum.


4)      Refleksi
Refleksi dilakukan setelah hasil observasi diperoleh. Hasil observasi digunakan untuk refleksi perbaikan tindakan guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran pada siklus selanjutnya.
4.      Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang digunakan adalah lembar observasi aktivitas guru dan siswa, angket tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran, dan soal tes.
5.      Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif berupa data hasil observasi dianalisis secara deskriptif berdasarkan pendapat ahli pada setiap siklus pada tahapan refleksi. Hasil refleksi digunakan untuk merevisi tindakan melalui perencanaan tindakan pada siklus selanjutnya. Analisis data kualitatif didukung oleh data kuantitatif dari hasil tes. Data kuantitatif hasil tes dihitung rata-ratanya untuk melihat ketercapaian KKM.

G.      Jadwal Penelitian
Jadwal penelitian meliputi perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyusunan laporan hasil penelitian. Jadwal penelitian diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan PTK
No
Rencana Kegiatan
Bulan/Minggu ke ..... (2011)
Juli
Agustus
3
4
1
2
3
4

A.    Persiapan
X





1
Menyusun konsep pelaksanaan
X





2
Menyepakati jadwal dan tugas
X





3
Menyusun instrumen
X





4
Menginformasikan konsep pelaksanaan
X






B.     Pelaksanaan PTK






1
Menyiapkan kelas dan alat

X




2
Melakukan tindakan siklus I

X




3
Melakukan tindakan siklus II


X



4
Melakukan tindakan siklus III



X



C.    Penyusunan Laporan






1
Menyusun dan perbaikan laporan




X

2
Penggandaan hasil





X


DAFTAR PUSTAKA

Aikenhead, G. S. (2005). Cultural Influences on the Dicipline of Chemistry. Saskatoon: University of Saskatchewan.

Arikunto S., Suhardjono., Supardi. (2007). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Baker, D. (1995). The Effect of Culture on Learning of Science in non-Western Countries: The Results of a Integrated Research Review. International Journal Science Education. Vol. 17(6).

Basuki, A & Liliasari. (2009). Upaya Guru dan Pemahaman Siswa Pada Pembelajaran Kimia di SMP. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan. LEMLIT Dan FKIP UNILA. Bandar Lampung.

Burns Anne. (1999). Collaborative Action Research for English Language Teacher. Cambridge: Cambridge University Press.

Cobern, W. W & Aikenhead, G. S. (1996). Cultural Aspect of Learning Science. SLCSP Working paper#121. Tersedia. [on-line] http://www.wmich.edu/slcsp/121.htm (11 Februari 2007).

Depdiknas. (2007a). Naskah Akademik: Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPA. Tersedia [on-line]. http://www.puskur.net. (3 April 2008).

Jegede, J. O & Aikenhead, S. G. (1999). Transcending Culural Border: Implication for Science Teaching. Journal for Science & Technology Education. Vol 17 (1). pp 45-66.

De Jong,O, dan Van Driel, (2005). Teachers’. Exploring The Development of Student PCK of The Multiple Meanings of Chemistry Topics.  International Journal of Science and Mathematics Education.  Vol. 2: pp 477–491.

Klos, L.M. (2006). Using Cultural Identity to Improve Learning. The Educational Forum. Vol. 70. pp.363-370.

Stanley, W. B & Brickhouse, N. W. (2001). The Multicultural Question Revisited. Science Education. Vol 85 (1). Pp.35-48.

Sukmadinata, N.S, (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya.





Anda dapat Mendaftar Untuk Posting Iklan disini -->

AriKhemist Headline Animator

My Headlines