Senin, 20 Desember 2010

Efektifkah animasi menggantikan metode pengajaran tradisional? Bagian I: persiapan dan pengujian perangkat

Sumber:
Chemistry Education Research and Practice
Chem. Educ. Res. Pract., 2010, 11, 253–261

Can animations effectively substitute for traditional teaching methods? Part I: preparation and testing of materials

Roberto Ma. Gregorius*a, Rhodora Santosb, Judith B. Danob and Jose J. Gutierrezb
a Department of Adolescence Education, Canisius College, 2001 Main St., Buffalo, NY 14208, USA; e-mail: gregorir@canisius.edu
b Department of Chemistry, The University of Texas-Pan American, 1201 W. University Drive, Edinburg, TX 78539, USA.

ABSTRAK
Dua animasi, salah satu fokus pada fenomena makroskopik dan konsepsi partikulat dari tiga keadaan/wujud materi dan efek panas pada materi, dan yang kedua tentang pembentukan larutan dan kelarutan dibuat dengan menggunakan perangkat lunak Adobe Flash MX. Animasi pertama dirancang dan diuji di sekolah dasar untuk siswa kelas 3 rd - 5 th . Animasi kedua diuji pada siswa sekolah menengah kimia. Bahan animasi disiapkan berdasarkan pedoman desain pembelajaran multimedia. Studi tes awal dan akhir digunakan untuk membandingkan perolehan hasil belajar siswa yang menggunakan animasi dengan pembelajaran membaca buku teks dan diskusi di kelas. Data tes awal dan akhir menunjukkan bahwa ketika kedua kelompok memperoleh gain hasil belajar pada modus pembelajaran yang diberikan, siswa yang menerima pembelajaran dengan animasi memperoleh skor yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol.


Kata kunci: pendidikan kanak-kanak, sains sekolah menengah, penelitian pendidikan sains, pembelajaran berbasis multimedia.

ABSTRACT
Two animations, one focused on the macroscopic phenomena and particulate conception of the three states of matter and the effects of heat on these states, and the other on solution formation and solubility were produced using Adobe Flash MX software. The first was designed for and tested on elementary school (3rd – 5th grade) students. The second was tested on secondary school chemistry students. The materials were prepared according to established multimedia learning design guidelines. A pre- and post-test study was used to compare the learning gains of the students who received the animations with those who received textbook reading time and discussion in class. The pre- and post-test data indicate that while both groups showed learning gains regardless of the provided mode of instruction, those who received the animations obtained higher scores than the control group.
Keywords: childhood education, high school science, science education research, multimedia-based learning.

Pengantar
Studi tentang kognisi telah menunjukkan bahwa peserta didik menerima informasi melalui saluran audio dan visual (Paivio, 1986, 1991). Telah diungkap bahwa kemampuan pelajar untuk membangun hubungan konseptual, skema, dapat terganggu jika informasi yang diterima hanya melalui satu saluran dan pelajar membutuhkan lebih banyak informasi yang diterima untuk disimpan dalam memori jangka pendek atau memori kerja (Sweller et al;., 1998 Sweller, 1999). Membaca buku sangat bergantung pada saluran visual, sementara kuliah/belajar tradisional terutama bergantung pada saluran audio. Jika memang demikian, maka mengakibatkan saluran kognitif kelebihan bebn jenis saluran ini dan belajar menjadi mengalami gangguan (Sweller, 1988). Oleh karena itu, penting untuk menyelidiki apakah modus lain dari pengiriman konten dapat diupayakan dan visual saluran pendengaran bekerja dapat melengkapi dan saling melengkapi satu sama lain untuk meningkatkan pembelajaran.
Implikasi praktis dari teori telah dikodifikasikan menjadi seperangkat prinsip-prinsip desain dan pembelajaran multimedia (Mayer, 2001, 2002). Mayer menunjukkan bahwa peserta didik yang dihadapkan secara simultan dan saling melengkapi informasi visual dan auditori secara konsisten memiliki retensi dan transfer pertanyaan lebih baik dar ipada mereka yang hanya menerima input visual atau auditori (Modalitas Prinsip). Hal yang menarik selanjutnya untuk ditinjau adalah apakah modul multimedia dapat dirancang dan dilaksanakan dalam menambah atau berperan sebagai pengganti yang efektif metode pengajaran tradisional dengan menggunakan pembelajaran langsung atau membaca buku teks.
Telah diusulkan bahwa kimia, tidak seperti disiplin ilmu alam lainnya, mengupayakan pelajar untuk mengembangkan skema atau kemampuan yang menggabungkan tiga domain interaksi belajar: fenomena makroskopik, representasi simbolik, dan konsepsi partikulat (Johnstone, 1993). Domain makroskopik mengacu pada fenomena fisik yang diamati, seperti keadaan fisik suatu zat tertentu atau perubahan gas seperti yang ditunjukkan oleh pembentukan gelembung selama reaksi kimia. Domain ini muncul di semua disiplin ilmu sebanyak semua disiplin sains diawali dengan fenomena makroskopis yang teramati. Demikian juga, ungkapan simbolis dari fenomena fisik yang diamati, seperti penggunaan notasi tabel periodik yang menggambarkan rumus kimia atau reaksi kimia, yang juga ada di semua disiplin sains.
Konsepsi partikulat atau domain yang diperdebatkan sebagai inti disiplin ilmu kimia melampaui representasi simbolis dari fenomena makroskopik sebagai sarana ekspresi dan mensyaratkan bahwa konsep dikodekan ke dalam model konseptual atom dan molekul. Penambahan domain konsepsi partikulat diklaim menambah tingkat kesulitan lainya bagi pelajar (Nurrenbern dan Pickering, 1987; Nakhleh, 1993; Nakhleh dan Mitchell, 1993; et al. Barke, 2009). Masalah yang paling banyak dihadapi pelajar dalam pembelajaran kimia adalah komponen model memiliki sifat dan sedikit keterkaitanya dengan nyata atau dengan sifat atau cara yang tidak mengikuti 'pemikiran awam' fisika. Sebagai contoh, atom dapat dimodelkan sebagai bola keras (seperti saat berperilaku sebagai gas), model bola keras gas menjadi semakin rumit bila atom dapat bersifat menarik dan menolak satu sama lain atau bila terjadi reaksi kimia. Siswa sering tidak memahami bahwa semua model memiliki batasan, dan mereka cenderung menggunakan model pada tingkat representasi (Schwarz et al 2009.,). Siswa akan sering bingung ketika belajar model terdahulu digantikan oleh model yang lebih maju. Ketika kita bisa mengkonseptualisasi sifat kimia dengan menggunakan model atom sebagai bola keras, model ini tidak lagi berperan ketika atom membentuk molekul.
Gambar. 1 Sekilas layar modul animasi: (a) menu pembukaan, (b) hal yang berhubungan dengan partikel (menunjukkan sistem gambar dekat - bar kuning), (c) perbedaan keadaan materi ( gambaran makroskopik dan partikulat ), (d ) simulasi pengaruh panas pada keadaan materi.

Siswa, bagaimanapun, mungkin masih berpegang pada model sederhana, dan akan mengalami kesulitan menyesuaikan skema/pemahaman yang mereka kembangkan melalui penggunaan model sederhana dengan model yang baru, lebih kompleks. Pembelajaran model dan visual sains intensif tampaknya sangat cocok melalui animasi jika hanya untuk membuat korelasi visual dan audio yang kuat antara ketiga domain pembelajaran makroskopik, simbolis dan partikulat (Sanger, 2000; Sanger et al, 2000).
Beberapa penelitian yang dilakukan terutama pada siswa tahun pertama pembelajaran kimia menunjukkan bahwa penggunaan gambar terkait dengan teks atau narasi (Sanger, 2000, 2005), atau animasi (Greenbowe, 1994; Sanger et al,2000; et al. Sanger, 2001) membantu pelajar membangun skema yang diperlukan dan membentuk hubungan antara ketiga domain belajar yang berbeda dalam kimia. Studi pertama penulis dengan siswa  tahun pertama belajar kimia (Gregorius, 2008a, 2008b, 2009), siswa yang disuguhkan dengan animasi sebagai bahan sumber utama memiliki kemampuan menjawab pertanyaan berbasis konsep yang lebih baik dari pada mereka yang menerima pembelajaran langsung secara tradisional melalui buku pelajaran dan ceramah .
Berdasarkan pengalaman pertama penulis dengan konstruksi konsep berbasis-multimedia (Gregorius, 2005a, 2005b, 2008a), hal tersebut menarik untuk meninjau jika animasi yang dapat dikembangkan cocok untuk siswa SMA dan SD. Hal menarik untuk diungkap bila animasi bisa dirancang untuk menggantikan bahan belajar cetak, buku teks statis dan belajar tatap muka. Untuk menyelidikinya, digunakan kelas 5 bagian 3 yang diajar oleh guru yang sama, diberikan pelajaran efek panas padan keadaan materi dengan animasi. Kemampuan siswa belajar dengan animasi dibandingkan dengan siswa yang menerima pembelajaran tradisional dengan buku teks dan diskusi. Demikian pula, dua kelompok siswa sekolah tinggi kimia non-AP (siswa sekolah standar tinggi kimia yang mengambil program “Advanced Placement” [AP] kimia saja, yang dirancang untuk menyesuaikan dengan tingkat perguruan tinggi tahun pertama program Kimia Umum) disediakan modul pembentukan larutan, sifat larutan dan kelarutan. Kinerja mereka dibandingkan dengan kelompok kontrol yang menerima kuliah tradisional.

Desain fitur animasi
Animasi dibuat dengan menggunakan Adobe Flash MX ( yang dipakai Flash CS4 Pro) ('Adobe Flash CS4 Profesional'). Animasi tentang materi pembelajaran keadaan materi dan pengaruh panas pada molekul yang cocok untuk siswa SD. Sebuah website1 yang berisi animasi lengkap digunakan (Gregorius, 2008b). Layar sekilas beberapa ilustrasi dari animasi ditunjukkan pada Gambar. 1. Animasi serupa disiapkan untuk studi sekolah menengah pada materi pembelajaran larutan, pembentukan larutan, dan kelarutan.
Gambar. 2 Layar tampilan sekilas dari modul animasi: (a) layar menu pembukaan, (b) tentang fenomena makroskopis untuk konsepsi partikulat, (c) memperkenalkan representasi simbolik (grafis) dari fenomena makroskopik, (d) konsepsi partikulat dari faktor kinetik pembentukan larutan.

Animasi lengkap dapat diakses melalui website seperti diuraikan sebelumnya. Layar gambar ilustrasi, sebagian kecil ditunjukkan pada Gambar. 2. Pada kedua gambar (1 dan 2), tampilan layar sekilas dari menu ditampilkan pada Gambar (A). Siswa dapat menggunakan menu untuk menavigasi ke bagian tertentu di modul. Dalam modul tersebut, seperti dapat dilihat dalam angka (b) - (d), topik modul bisa dinavigasi dengan angka di baris tombol di bagian bawah, yang selalu tersedia dalam bagian modul.  Sebuah pilihan penggunaan tersedia (seperti yang ditunjukkan pada gambar (b) kedua gambar). Pilihan default untuk penggunaan animasi degan 'off' memungkinkan dapat meminimalkan gangguan. Sambungan sedang dibuat antara fenomena makroskopik dan konsepsi partikulat dengan melapisi dua domain dalam narasi yang sama / layar (terlihat pada (b) Gambar 1 dan 2). Ekspresi simbolik, dalam hal ini sebuah representasi grafis, digunakan setiap kali sesuai dengan narasi (Gambar 2c). Simulasi interaktif, yang memungkinkan untuk eksplorasi ide disediakan ('d' dari kedua gambar) segera setelah ide-ide dasar telah diupayakan dan siswa dianggap memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menghargai dan belajar dari eksplorasi ide-ide. Narasi suara untuk panduan ide dan konsep digunakan sebagai pengganti teks, jika memungkinkan.
Belajar aktif dapat tejadi dalam berbagai bentuk (Bruner, 1961; Anthony, 1973; Barrows dan Tamblyn, 1980; Bornwell dan Eison, 1991; Bredo, 1997) yang terungkap hingga saat ini. Perdebatan yang sedang berlangsung antara mereka yang mempromosikan belajar aktif sebagai modus pilihan pembelajaran dan mereka yang berpendapat bahwa hal tersebut kurang penting untuk perilaku aktif dibanding aktif secara kognitif (Kirschner et al., 2006), dapat dihindari dan penemuan secara nyata bahwa metode tersebut kurang efektif kurang dalam pembelajaran (Mayer, 2004), kami merancang animasi sehingga mereka bisa bekerja dalam suatu pembelajaran yang berdiri sendiri. Bekerja dengan pelaksana pembelajaran, kami memastikan bahwa pengetahuan dasar animasi dapat disediakan secara memadai dan bimbingan, sehingga mereka dapat digunakan untuk studi independen dan tanpa memerlukan siswa untuk melewati tentang apa yang diberikan dalam animasi.
Setiap upaya telah dilakukan untuk menjamin bahwa animasi yang dihasilkan berpedoman pada prinsip-prinsip multimedia yang ditetapkan oleh Mayer (2001). Mayer dalam risetnya, menemukan keajegan bahwa siswa yang diberi animasi dengan narasi teks melakukan transfer pertanyaan yang lebih baik. Oleh karena itu, animasi kami dirancang dengan penjelasan suara untuk memenuhi prinsip modalitas ini. Anotasi-suara bertepatan dengan gambar animasi dan tindakan dalam rangka mematuhi prinsip kedekatan temporal (siswa belajar lebih baik ketika informasi visual dan auio disajikan secara bersamaan). Animasi dirancang hanya memiliki satu tindakan untuk per waktu tertentu, dan aktivitas apapun diisolasi pada satu bagian layar untuk mematuhi prinsip kedekatan spasial (siswa belajar lebih baik bila gambar dekat satu sama lain).

Tabel 1 Tahapan waktu studi untuk kelompok kontrol dan eksperimen

Kejadian / kegiatan
Kontrol
Eksperimental
Hari 1  



Hari 2













Hari 3












Hari 4
(DRES)


Hari 4 (PSJA)




Hari 5
(PSJA)
Pre-test  
Antisipatif diatur  


Antisipatif diatur


Cukup dipandu pembelajaran (DRES)

Pembelajaran
Tradisional (PSJA)

Ringkasan


Antisipatif set (DRES)

Pembelajaran  terarah-mandiri (DRES)

Ringkasan (DRES)


Pembelajaran tradisional (PSJA)


Post-test
Sumatif jajak pendapat

Tradisional instruksi (PSJA)

Ringkasan


Post-test
Sumatif jajak pendapat
30 min. periode  
10min.
'Brainstorming'

tak satupun


30 min. membaca buku teks


30 min. Tatap muka


10 min. 'Polling',
Q & A

10 min. 'Rekap'


20 min. membaca buku


10 min. pertanyaan dan jawaban

30 min. Tatap muka + 10 menit tanya jawab


30 min. periode
10 min. periode


30 min. Tatap muka


10 min. pertanyaan dan jawaban

30 min. periode
10 min. periode
30 min. periode
10 min.
'Brainstorming'

10 min. instruksi tentang penggunaan file
30 min. penggunaan animasi di lab komputer

30 min. penggunaan animasi di lab komputer

tak satupun


tak satupun


30 min. penggunaan animasi di lab komputer

10 min. pertanyaan dan jawaban

40 min. 
penggunaan animasi di lab komputer

30 min. periode
10 min. periode


30 min. penggunaan animasi di lab komputer
10 min. pertanyaan dan jawaban

30 min. periode
10 min. periode

Karena prinsip koherensi menyatakan bahwa keserampangan layaknya ‘lonceng dan peluit’ cenderung untuk mengalihkan perhatian, bukan meningkatkan, proses pembelajaran, hal ini menhasilkan pemahaman yang minim. Animasi, bagaimanapun, tidak bisa benar-benar mengikuti prinsip redundansi dan prinsip personalisasi. Prinsip redundansi menunjukkan bahwa teks adalah kontra-produktif ketika narasi digunakan dengan grafis. Namun, orang Amerika melalui Disabilities Act (ADA) membutuhkan penyediaan sarana tambahan di samping saluran audio. Redundansi dapat dikurangi melalui penyediaan pilihan dasar 'off' dan siswa dianjurkan menggunakan sarana ini hanya bila diperlukan. Prinsip personalisasi menganjurkan bahwa nada orang pertama yang menggunakan bahasa informal jauh lebih efektif daripada bahasa teknis. Karena salah satu tujuan dalam pembelajaran sains bagi siswa untuk mengembangkan keakraban dengan bahasa ilmiah dan teknis, personalisasi tidak selalu dapat digunakan.
Pertimbangan penting dalam pengembangan materi yang diberikan kepada siswa adalah pembentukan hubungan yang kuat antara fenomena makroskopik teramati dan konsepsi partikulat fenomena itu. Dengan demikian, animasi secara khusus dirancang untuk menggabungkan hubungan yang erat antara apa yang diamati dan bagaimana membayangkan / dimodelkan pada tingkat partikulat.

Studi desain dan implementasi
Kelas sains dari bagian kelas 3, 4, dan 5 di Sekolah Dasar Dan Ramirez (DRES) di Pharr-San Juan ISD (Wilayah I, South Texas) dipilih, sehingga berdasarkan kinerja uji sebelumnya dan jumlah siswa di masing-masing bagian, kelompok-kelompok ini bisa dianggap setara secara statistik. Semua bagian di bawah pengawasan Ny Santos (penulis kedua), yang merupakan guru sekolah dasar bersertifikat. Demikian pula, empat sekolah menengah non-AP kimia bagian Akademi Pharr-San Juan (PSJA) Peringatan Sekolah Tinggi dipilih, dan diperlakukan sebagai kelompok kontrol atau eksperimen sehingga membuat setiap pengelompokan setara secara statistik berdasarkan jumlah dan kinerja dalam penilaian sebelumnya. Semua bagian di bawah pengawasan Ny Dano (penulis ketiga), yang merupakan guru kimia sekolah tinggi tersertifikasi dan menjabat di PSJA.
Urutan kegiatan penelitian dirangkum dalam Tabel 1. Rencana awal studi DRES adalah melakukan tes awal selama 40 menit pada periode Hari 1. Namun, karena semua siswa telah menyelesaikan tugas dalam 30 menit pertama periode, sesi brainstorming dilakukan untuk memanfaatkan sisa waktu. Sesi brainstorming terdiri dari kegiatan guru yang bertanya pada siswa tetang apa yang mereka tahu mengenai materi dan keadaan materi, tetang apa yang siswa pikirkan tentang pengaruh panas terhadap keadaan/wujud materi, serta tentang apa penaruh panas terhadap aktivitas atom atau molekul zat. Sementara guru berusaha untuk memperoleh jawaban dari siswa, pengarahan diberikan tanpa memberikan jawaban kepada siswa atau menyatakan menjawab benar atau dapat diterima. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi dengan menberikan penjelasan singkat pada siswa tentang apa yang akan dibahas dalam rangka melibatkan mereka pada konten yang akan dipelajari dan sebagai isyarat untuk menghubungkan isi materi yang akan dipelajari dengan topik yang dibahas sebelumnya. Tidak ada sesi brainstorming yang diberikan untuk studi PSJA, bagi siswa yang menggunakan semua waktu selama 40 menit sesi tes awal. Kelompok kontrol dengan buku teks standar (Harcourt Science Series) di beri waktu, diikuti dengan sesi pemungutan suara, teknik yang sering digunakan oleh kedua instruktur, dimana siswa diajak untuk mengungkapkan apa yang telah mereka pelajari selama waktu membaca dan melalui pengajar dapat mengukur tingkat pemahaman siswa (DRES), atau sesuatu yang mirip dengan ceramah tradisional diikuti oleh-dan-jawaban sesi bertanya (PSJA) dengan pengajar memandu diskusi dengan mengajukan pertanyaan awal. Kelompok eksperimen, di sisi lain, dibawa ke media / lab komputer dan dimulai dengan pembelajaran selama 10 menit tentang cara mengakses file animasi, cara terbaik untuk berinteraksi dengan konten animasi, dan bagaimana membuat catatan. Hal ini diikuti dengan siswa yang bekerja sendiri dengan bahan instruksi animasi. Masa studi ini dilakukan 30 menit tes akhir (Hari ke 4 untuk DRES, hari ke 5 untuk PSJA) dan survei informal untuk mengukur sikap dan pengalaman belajar siswa.

4. Beberapa siswa sedang mempelajari sifat air. Satu siswa menempatkan cangkir yang berisi 80 mL air dalam pendingin. Siswa lain menempatkan sebuah cangkir identik berisi 40 mL air dalam pendingin yang sama. Manakah dari berikut ini akan sama untuk kedua cangkir air?
A. Suhu di mana air membeku
B. Massa air beku
C. Waktu yang diperlukan air untuk membekukan
D. Volume air beku

5. Manakah gambar berikut ini paling baik dalam menggambarkan molekul air?
Gambar. 3 Sebuah sampel tes awal dan akhir yang diberikan (DRES).

4. Manakah dari berikut ini TIDAK meningkatkan tingkat melarutkan yang solid dalam air?
a. meningkatkan suhu
b. mengaduk
c. menggunakan potongan besar padatan
d. menghancurkan padatan
Gambar. 4 Kutipan dari pra-dan pasca tes diberikan (PSJA).

9. Seperti terlihat pada diagram, pelarut apa yang mengalami penurunan kelarutan dengan meningkatnya suhu?
a. CaCl2
b. Ce2 (SO4)3
c. KClO3
d. NaCl

14. Misalkan anda perlu air yang mengandung oksigen lebih dari biasanya. Anda berencana untuk mengelembungkan udara yang berisi oksigen, ke dalam air. Apa yang akan Anda lakukan untuk meningkatkan jumlah oksigen yang akan larut dalam air?
a. Penurunan tekanan pada sistem.
b. Penurunan suhu air.
c. Membuat molekul air lebih polar.
d. Aduk air.

Penilaian tes awal dan tes akhir disiapkan dan dirancang untuk mencapai tujuan belajar sains seperti yang dijelaskan di Texas Essential Knowledge and Skills (TEKS) (Texas Essential Knowledge and Skills for science, sub-bab A. Dasar) dalam kasus studi DRES dan, dalam kasus studi PSJA, pertanyaan-pertanyaan tes dipilih dari Examview Pro (program evaluasi uji lisensi untuk sekolah dan digunakan sebagai platform tes standar) ('ExamView'). Pengujian pertanyaan dalam tes awal dan tes akhir serupa dalam bentuk dan tingkat kesulitan, dan dirancang agar sesuai dengan tes Texas Assessments of Knowledge and Skills (TAKS). Sebuah sampling dari tes yang diberikan sperti contoh pada Gambar. 3 (DRES) dan Gambar.4 (PSJA).
Data tes awal dan akhir pada awalnya akan dianalisis kenormalan distribusinya sehingga analisis uji t bisa valid. Jika data yang ditemukan dari suatu distribusi normal, dua sisi, analisis uji statistik t tidak berpasangan akan diterapkan pada skor tes awal kontrol dan eksperimental untuk menentukan apakah pengetahuan dasar dari dua kelompok secara statistik setara. Skor tes akhir kontrol dan eksperimen dianalisis untuk menentukan apakah terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik dapat diamati. Perbedaan dapat diketahui, terungkap dari peningkatan gaing yang lebih tinggi pada suatu kelompok belajar yang dibuktikan melalui skor tes akhir dan perbedaan antara rata-rata tes awal dan akhir.

Hasil dan diskusi
Tabel 2 merangkum data kemampuan dari studi yang berbeda, menunjukkan jumlah peserta, rata-rata tes awal dan akhir, perubahan rata-rata dan-peningkatan rata-rata persen antara tes awal dan akhir dari masing-masing siswa. Tabel 3 menunjukkan statistik deskriptif untuk studi masing-masing: kisaran, standar deviasi, dan hasil dari uji Kolmogorov-Smirnov (KS) dan Levene. Semua hasil statistik yang disajikan di sini diperoleh dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 18 IBM. Uji nonparametrik KS menyarankan bahwa hipotesis null yang berarti bahwa data memiliki distribusi normal, harus dipertahankan pada semua kelompok / studi.  Berlandaskan aturan ’68-95-99 .7’, data menunjukkan bahwa dalam kebanyakan kasus semua data berada dalam dua standar deviasi dari rata-rata, dan dalam tiga standar deviasi dari mean dalam semua kasus, menunjukkan bahwa data memiliki distribusi normal. Selain itu, Levene's Tes yang dilakukan untuk kesetaraan varians semua data tes awal (Tabel 3, kolom 9) mendukung penolakan hipotesis nol (p> 0,05) yang menyatakan bahwa varians tes awal antara kelompok kontrol dan eksperimental setara. Oleh karena itu, analisis uji t dapat digunakan dengan harapan dapat memberikan hasil yang bermakna.
Tabel 4 menunjukkan hasil nilai p dari analisis uji t dua pihak data untuk studi masing-masing: perbandingan kelompok kontrol tes awal dan akhir dari kelompok eksperimen, perbandingan tes awal kontrol dan kelompok eksperimen, dan uji tahap akhir. Nilai alpha yang ditetapkan sebesar 0,05. Lima persen peluang untuk menemukan perbedaan yang signifikan secara statistik merupakan tingkat risiko yang cukup konservatif, mengingat bahwa, meskipun populasi di setiap studi tertentu adalah rendah (n = 18 sampai 40, Tabel 2, kolom 2 dan 7 ), kesimpulan agregat yang diambil dari semua studi yang berbeda (total populasi 101 untuk kontrol dan kelompok eksperimen) merupakan tingkat keyakinan yang lebih tinggi (Aron dan Aron, 1997; Sirkin, 2006).
Dalam semua kasus, uji t dua pihak tidak berpasangan skor tes awal antara kelompok kontrol dan eksperimen menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik (p> 0.05) antara kelompok kontrol basis pengetahuan eksperimental dan perbandingan antara kelompok-kelompok dapat diterima (Tabel 4, kolom 4).

Tabel 2 Ikhtisar data dari studi yang berbeda; Tabel 3 Viabilitas data untuk analisis uji t
Tabel 4 hasil analisis statistik dari penelitian yang berbeda

Kecuali untuk kelompok kelas 4, berekor, analisis uji t dua arah dua kelompok berpasangan untuk perbedaan antara skor tes awal dan akhir menunjukkan bahwa, ketidakterkaitan dari metode pengajaran dengan: metode membaca tradisional yang disertai diskusi, ceramah tatapmuka atau animasi, berbeda signifikan secara statistik (p <0,05) pada kinerja tes akhir yang dapat diamati setelah perlakuan, baik pada kelompok kontrol maupun eksperimen dalam setiap proses pembelajaran (Tabel 4, kolom 2 dan 3). Kelompok anomali, studi kelas 4, harus ditinjau lebih dekat untuk memahami mengapa, tampaknya, hasil belajar tidak berbeda signifikan secara statistik yang dapat diamati antara pembelajaran berbasis animasi (eksperimental) dengan perlakuan tradisional (kontrol).
Tidak termasuk studi kelas 4, berekor, analisis uji t dua arah untuk kelompok tidak berpasangan nilai tes akhir antara kelompok kontrol dan eksperimen menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan secara statistik (p <0,05) antara kinerja hasil ujian kelas 3 dan 5 setelah perlakuan (Tabel 4, kolom 5), dan bahwa kelompok HS menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara skor tes alkhir kelompok kontrol dan eksperimental skor(p> 0,05). Tinjauan terhadap median setelah tes dari kelompok kelas 3 dan 5 (Tabel 2, kolom 4 dan 9) menunjukkan bahwa kinerja uji kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol untuk kelompok kelas 3 dan 5, di samping itu kelompok kontrol HS menunjukkan kinerja lebih tinggi tetapi setara secara statistik berdasarkan hasil uji t   hasil tes.
Data dan analisis kelompok kelas 3 dan 5 sepertinya mengindikasikan bahwa para siswa menerima dengan hati-hati animasi disusun dapat lebih tinggi saat akhir dan secara statistik perolehan belajar signifikan lebih tinggi, sebagaimana dibuktikan dari kemampuan hasil ujian, dari siswa yang menerima buku teks tradisional, waktu membaca dan diikuti dengan mengajar metode diskusi. Jadi, belajar yang terjadi di kedua sistem, rata-rata, siswa diberikan animasi untuk belajar dari membukukan keuntungan pendidikan tinggi (Tabel 2, kolom 5, 6, 10, 11), dan lebih tinggi tingkat pengetahuan (Tabel 2, kolom 4 dan 9).
Penelitian HS, menunjukkan bahwa perolehan hasil belajar dan tingkat pengetahuan akhir dari kelompok kontrol dan eksperimen setelah perlakuan secara statistik setara. Namun, karena peningkatan hasil pembelajaran yang diperoleh oleh kedua kelompok kontrol dan eksperimen, cukup aman untuk mengatakan bahwa di studi HS menunjukkan bahwa minimalnya hasil setara secara statistik dapat diperoleh ketika animasi dapat digunakan untuk menggantikan belajar tatap muka tradisional. Dengan demikian, studi kelas 3, 5, dan HS menunjukkan bahwa proses pembelajaran berbasis animasi secara efektif dapat digunakan sebagai pengganti, walau tidak memperbaiki, metode pengajaran tradisional yang didasarkan pada buku pelajaran dan tatap muka.
Penelitian kelas 4 menjadi perhatian, seperti yang terlihat bahwa tidak hanya ada perbedaan secara statistik antara perolehan pembelajaran dan pengetahuan akhir setelah perlakuan untuk kelompok kontrol maupun eksperimen, juga tidak ada perbedaan secara statistik antara skor tes awal dan akhir dalam kelompok.Tampaknya tidak ada perbedaan hasil belajar yang signifikan secara statistik dicapai dalam perlakuan.
Faktor yang berkontribusi terhadap hasil belajar kelas 4 dapat dipetakan untuk siswa dalam kelompok kelas 4. Tabel 5 menunjukkan rata-rata untuk kelompok kelas 4 secara keseluruhan, dan ketika kelompok dibagi menjadi siswa Limited English Proficiency (LEP), setelah tes, sebagai siswa yang tidak membaca atau menulis pada siswa kelas English ( ENG).

Tabel 5 Data kemampuan kelompok kelas 4 dengan subkelompok kemampuan bahasa
Sekelompok kecil siswa yang terungkap ketika studi kelompok kelas 4 yang terbagi ke dalam subkelompok LEP dan ENG menuntut penggunaan statistik nonparametrik. Tes Wilcoxon Signed Ranks pada siswa LEP pada kelompok kontrol menunjukkan bahwa resultan rata-rata sebesar 69 dan 66 untuk skor tes awal dan akhir (Tabel 5, kolom 3 dan 4) tidak berbeda (p = 0,23). Di sisi lain, pengujian yang sama pada siswa LEP di kelompok eksperimen menunjukkan bahwa resultan rata-rata sebesar 59 dan 82 untuk skor tes awal dan akhir (Tabel 5, kolom 6 dan 7) terdapat perbedaan yang nyata (p = 0,006). Hal ini menunjukkan bahwa subkelompok ENG pada kelompok kontrol dan eksperimen menyebabkan penyimpangan hasil dan bertanggung jawab atas perbedaan tidak bermakna teramati pada skor tes awal dan akhir keseluruhan kelompok. Analisis ini juga membawa pada kemungkinan yang menarik bahwa perlakuan mampu mempengaruhi belajar siswa LEP yang berbeda dari siswa ENG. Kemungkinan ini akan dipelajari secara lebih rinci dalam bagian II dari artikel.
Akhirnya, baik Ny. Santos maupun Ny Dano yang diamati di seluruh kelas ujicoba, menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam pengalaman kelas belajar antara kelompok eksperimen dan kontrol. Siswa dalam kelompok eksperimen umumnya belajar tatap muka di seluruh sesi 40 menit, lebih sedikit diskusi antar rekan, dan tampaknya lebih terfokus pada tugas. Ada perilaku mengganggu lebih kecil, dan pengelolaan kelas secara umum lebih mudah untuk kelompok eksperimental. Hal ini disebabkan semakin tinggi tingkat keterlibatan dengan konten atau dengan penguasaan konten. Siswa dalam kelompok eksperimen juga jarang bertanya selama sesi studi. Wawancara informal siswa kelompok eksperimen, dilakukan di menit 10. polling/pengumpulan pendapat sumatif pada akhir penelitian, menunjukkan bahwa mereka menikmati pengalaman lebih dari kelas tata muka waktu standar. Komentar yang meliputi pernyataan / frase seperti "Rasanya dingin" "aku senang" "Aku ingin melihat lebih banyak" "Aku suka bermain dengan video" "berbeda", "bagus", "lebih baik", "tidak membosankan", "cantik", dan"baik" tercatat selama sesi pengumpulan pendapat. Meskipun demikian dimungkinkan untuk menyimpulkan bahwa, siswa lebih fokus dalam kelompok eksperimen sugestif terlibat lebih tinggi dengan bahan pelajaran atau kegiatan, atau pengamatan dapat diperoleh dari asumsi bahwa siswa mengalami rasa asing 'digital natives' dan lebih berminat pada sifat animasi, kurang informal berdasar pengumpulan pendapat, cenderung pengamatan yang bersifat sangat anekdotal, menyebabkan penulis ragu-ragu menarik kesimpulan. Pengamatan ini dilakukan hanya untuk melengkapi hasil kuantitatif dengan pengamatan kualitatif.

Ringkasan dan pertimbangan
Pengaruh penyiapan animasi yang baik sebagai pengganti metode pengajaran tradisional buku teks pelajaran dan taatp muka telah diungkap. Kami telah meneliti pembelajaran siswa kelas 3, 4, dan 5  tentang wujud/keadaan materi dan pengaruh panas tehadap wujud materi. Sifat larutan, pembentukan larutan, dan faktor kelarutan telah diteliti antara siswa kimia SMA non-AP. Siswa yang menerima animasi interaktif telah diamati dalam hal metode penguatan isi materi atau penguasaan konten, menanyakan beberapa pertanyaan (dianggap menunjukkan kebingungan yang lebih rendah) lebih sedikit mengalami gangguan, dan secara umum lebih menikmati pengalaman belajar. Meskipun ada indikasi bahwa kedua metode pengajaran tradisional yang didasarkan pada buku teks dan diskusi yang berpusat pada guru, berpusat pada siswa, yang menerima pembelajaran berbasis animasi berhasil dalam meningkatkan penguasaan materi pelajaran, mereka yang menerima proses pembelajaran berbasis animasi -meskipun minim interaksi dengan guru-baik memperoleh hasil belajar lebih tinggi yang signifikan secara statistik dibandingkan dengan kelompok pengajaran tradisional (3 kelas dalam kelompok eksperimen mencatat kenaikan 139% dibandingkan peningkatan 48% pada kontrol dari tes awal ke tes akhir; siswa kelas 5 32% versus 19%) atau paling tidak setara dalam kinerja bagi siswa yang menerima perlakuan pengajaran tradisional (anak kelas 4 dan studi HS).
Perlu ditentukan apakah gain hasil belajar merupakan fungsi dari kebaruan dari pengalaman belajar atau jika gain hasil belajar diamati di sini dapat dipertahankan dalam satu semester penuh atau kurikulum setahun penuh. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengatasi keterbatasan penelitian tentang ukuran populasi, keterbatasan penelitian hanya pada satu pokok bahasan, dan sedikitnya data tentang gaya belajar siswa dalam penelitian ini. Selain itu, sementara definisi tentang sebesar apa animasi yang 'baik dipersiapkan' berada di luar lingkup tulisan ini (Lambert dan McCombs, 1998; et al. Sweller, 1998; Sweller, 1999; Mayer, 2001; Grimley, 2007; Gregorius , 2008a; Austin, 2009), sebuah ungkapan hati-hati harus dinyatakan di sini bahwa animasi disiapkan untuk studi ini telah melalui beberapa tahap pengujian dan review dalam rangka mematuhi standar yang ditetapkan untuk belajar dan animasi, sejauhmaana memungkinkan pembelajaran yang diharapkan dapat dilaukan. Kemungkinan besar siapapun guru yang terdorong oleh penelitian ini, akan mempersiapkan animasi mereka sendiri dan menggunakannya sebagai pengganti instruksi langsung mungkin tidak menemukan hasil setara. Pemahaman yang hati-hati tentang persiapan animasi yang baik sangat disarankan.
Populasi yang kecil dalam kelompok-kelompok studi adalah mmeunculkan kekhaatiran (n terendah = 18, n tertinggi = 40). Namun, populasi gabungan untuk studi berbagai kelompok dapat mningkatkan kelompok populasi hingga 101. Selain itu, meningkatkan tingkat kepercayaan menjadi 99 (alpha = 0,01) akan menghasilkan kesimpulan yang sama. Namun, mungkin akan lebih tepat untuk membatasi kesimpulan ke pernyataan yang lebih konservatif, minimal, studi gabungan menunjukkan bahwa penyiapan animasi yang baik sebagai pengganti metode tradisional melalui membaca buku dan ceramah mengakibatkan kinerja murid setara pada tes standar, dan skor kinerja yang lebih tinggi bagi mereka yang menerima animasi dapat diharapkan.
Menggunakan animasi yang sama untuk studi kelas ke-3 hingga kelas 5 mungkin tampak tidak pantas sampai kita melihat beberapa contoh dasar sains kurikulum standar (Curriculum: Science, 2009; Science Learning Standards and Core Curriculum, 2009). Kurikulum ini menunjukkan kemajuan belajar yang terlihat pada bahan yang sama dan isi dengan setiap siklus pembelajaran dengan cakupan yang diharapkan lebih di setiap siklus. Dalam sistem ini, pengetahuan sains dasar diharapkan dapat menjadi lebih dalam dan lebih kompleks dengan setiap pengulangan. Harapan selanjutnya adalah apa yang dilakukan guru dalam studi ini pada materi belajar yang sama atau alat peraga dapat digunakan dengan perlakuan yang lebih mendalam pada setiap tingkat kelas secara berkesinambngan.
Sebagai penutup, analisis yang lebih rinci dari kelompok kelas 4 juga menunjukkan bahwa proses pembelajaran berbasis-animasi memiliki pengaruh kuat pada basis pengetahuan peserta didik rendah atau siswa yang memiliki beberapa bentuk kelemahan belajar. Tidak hanya peserta didik yang belajar kelompok LEP memperoleh gain hasil belajar setara dengan ENG, muncul kelompok ENG dengan basis pengetahuan rendah yang memiliki hasil tes akhir yang setara dengan mereka yang memiliki pengetahuan dasar yang lebih tinggi. Pebelajaran berdasarkan Animasi mungkin dapat membedakan antara siswa yang berbasis pengetahuan tinggi dan rendah dan animasi mungkin dapat memulihkan pengetahuan dasar beberapa pelajar yang rendah untuk menunjukkan bahwa mereka mungkin dapat menyusul siswa dengan pengetahuan dasar tinggi yang akan dibahas dalam bagian II dari seri artikel ini.

Notes and References
1The full animation used for the elementary school studies is available at: http://www3.canisius.edu/~gregorir/ic2home/flashfor3rdand4thgrades/FXmatterStudy.html, if using Firefox 2.0 browser (F2) and above. Internet Explorer 6.0 (IE6) users can go to: http://www3.canisius.edu/~gregorir/ic2home/flashfor3rdand4thgrades/matterStudy.html. Users of IE higher than version 6 may encounter some problems and are advised to try viewing the files in IE6 or some other browser. Safari 3.1.2 or higher users may use either link. Likewise the full animation used in the high school studies is available at: http://www3.canisius.edu/~gregorir/ic2home/flashforhighschoolchem/FXsolutions.html for F2 users, and http://www3.canisius.edu/~gregorir/ic2home/flashforhighschoolchem/solutions.html for IE6 users. All files are housed in a parent site: http://www3.canisius.edu/~gregorir/ic2home/.

Adobe Flash CS4 Professional, Retrieved December 1, 2008, from http://www.adobe.com/products/flash/
Anthony W. S., (1973), Learning to discover rules by discovery, J. Educ. Psychol., 64, 325-328.
Aron A. and Aron E. N., (1997), Statistics for the behavioral and social sciences: a brief course (4th ed.), Upper Saddle River, New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Austin K. A., (2009), Multimedia learning: cognitive individual differences and display design techniques predict transfer learning with multimedia learning modules, Comput. Educ., 53, 1339-1354.
Barke H.-D., Hazari A. and Yitbarek S., (2009), Misconceptions in chemistry: addressing perceptions in chemistry, Berlin: Springer-Verlag.
Barrows H. S. and Tamblyn R. M., (1980), Problem-based learning: an approach to medical education, New York, NY: Springer.
Bornwell C. and Eison J., (1991), Active learning: creating excitement in the classroom ASHE-ERIC higher education report no. 1, Washington, DC: The George Washington University, School of Education and Human Development.
Bredo E., (1997), The social construction of learning, in Handbook of academic learning: construction of knowledge, G. D. Phye, ed., San Diego, California: Elsevier Science.
Bruner J. S., (1961), The act of discovery, Harvard Educ. Rev., 31, 21-32.
Curriculum: Science., (2009), Retrieved January 2010, from http://ritter.tea.state.tx.us/curriculum/science/index.html
ExamView, Retrieved May 19, 2009, from http://www.swlearning.com/examview/examview_main.html
Greenbowe T. J., (1994), An interactive multimedia software program for exploring electrochemical cells, J. Chem. Educ., 71, 555-557.
Gregorius R. Ma., (2005a), Various learning environments and their impact on student performance, part I: traditional versus powerpoint and webct augmented classes, The Chem. Educator, 10, 72–77.
Gregorius R. Ma., (2005b), Various learning environments and their impact on student performance, part II: PowerPoint versus flash–based self–instruction, The Chem. Educator, 10, 78–81.
Gregorius R. Ma., (2008a), A learning system for general chemistry that emphasizes concepts, Newsletter of the Conference on Chemical Education (CONFCHEM), Retrieved December 2, 2008, from http://ched-ccce.org/newsletter/Pages_NewsF08/F2008_News.html
Gregorius R. Ma., (2008b), Inductive concept construction, Retrieved January 2010, from http://www3.canisius.edu/~gregorir/ic2home/
Gregorius R. Ma., (2009), A comparison of student performance in various learning protocols in general chemistry, accepted for publication: Journal of College Science Teaching.
Grimley M., (2007), Learning from multimedia materials: the relative impact of individual differences, Educ. Psychol., 27, 465-485.
Johnstone A. H., (1993), The development of chemistry teaching, J. Chem. Ed., 70, 701–705.
Kirschner P. A., Sweller J., and Clark R. E., (2006), Why minimal guidance during instruction does not work: an analysis of the failure of constructivist, discovery, problem-based, experimental, and inquiry-based teaching, Educ. Psychol., 41, 75-86.
Lambert N. M. and McCombs B. L., (1998), How students learn, Washington, D. C.: American Psychological Association.
Mayer R., (2001), Multi–media learning, New York, NY: Cambridge University Press.
Mayer R., (2002), Cognitive theory and the design of multimedia instruction: an example of the two–way street between cognition and instruction, New Directions for Teaching and Learning, 89, 55–71.
Mayer R., (2004), Should there be a three-strikes rule against pure discovery learning? The case for guided methods of instruction, Am. Psychol., 59, 14-19.
Nakhleh M. B., (1993), Are our students conceptual thinkers or algorithm problem solvers?, J. Chem. Educ., 70, 52–55.
Nakhleh M. B., and Mitchell R. C., (1993), Concept-learning versus problem-solving – there is a difference, J. Chem. Educ., 70, 190-192.
Nurrenbern S. C. and Pickering M., (1987), Concept learning versus problem solving: is there a difference?, J. Chem. Educ., 64, 508–510.
Paivio A., (1986), Mental representations: a dual coding approach, New York: Oxford University Press.
Paivio A., (1991), Dual coding theory: retrospect and current status, Can. J. Psychol., 45, 255-287.
Sanger M. J., (2005), Evaluating students’ conceptual understanding of balanced equations and stoichiometric ratios using a particulate drawing, J. Chem. Educ., 82, 131-134.
Sanger M. J., ( 2000), Using particulate drawings to determine and improve students’ conceptions of pure substances and mixtures, J. Chem. Educ., 77, 762–766.
Sanger M. J., Brecheisen D. M., and Hynek B. M., (2001), Can computer animation affect college biology students’ concepts about diffusion and osmosis? Am. Biol. Teach., 63, 104-109.
Sanger M. J., Phelps A. J. and Feinhold J., (2000), Using computer animation to improve students’ conceptual understanding of a can–crushing demonstration, J. Chem. Educ., 77, 1517-1520.
Schwarz C. V., Reiser B. J., Davies E. A., Kenyon L., Archér A., Fortus D., Shwartz Y., Hug B. and Krajcik J., (2009), Developing a learning progression for scientific modeling: making scientific modeling accessible and meaningful for learners, J. Res. Sci. Teach., 46, 632-654.
Science Learning Standards and Core Curriculum., (2009), Retrieved January 2010, from http://www.emsc.nysed.gov/ciai/mst/scirg.html
Sirkin R. M., (2006), Statistics for the social sciences (3rd ed.), Thousand Oaks, California: Sage Publications, Inc.
Sweller J., (1988), Cognitive load during problem solving: effects on learning, Cognit. Sci., 12, 257-285.
Sweller J., (1999), Instructional design in technical areas, Victoria, Australia: Australian Council for Educational Research, Camberwell.
Sweller J., Van Merrienboer J. and Paas F., (1998), Cognitive architecture and instructional design, Educ. Psychol. Rev., 10, 251-296.
Texas Essential Knowledge and Skills for Science, Subchapter A. Elementary, Retrieved May 20, 2009, from http://ritter.tea.state.tx.us/rules/tac/chapter112/ch112a.html#112.7

AriKhemist Headline Animator

My Headlines